Dalam mempelajari keterampilan motorik menurut Fitts
& Possner (1967) [1]
[2]
menyatakan bahwa proses belajar ada tiga fase/tahapan pembelajaran yaitu: tahap
kognitif (Cognitive phase), tahap
asosiatif (Associative phase) dan
tahap otomatisasi (Autonomous phase).
Tahapan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar
1. Tahapan proses keterampilan motorik menurut Fitts & Possner (1967) [3].
Tujuan belajar adalah untuk secara
bertahap mengotomatisasi keterampilan melalui tahapan tersebut. Pada tahap
kognitif peserta didik berkonsentrasi pada melakukan suatu keterampilan.
Fokusnya adalah pada menemukan apa yang harus dilakukan. Pada tahan ini
biasanya ada variabilitas yang tinggi dari sejumlah besar kesalahan dalam
kinerja/penampilan (performance),
karena pelajar sedang mencoba berbagai cara untuk memecahkan masalah (problem solving). Oleh karena itu,
pentingnya penggunaan instruksi verbal dan model (demonstration) sangat diperlukan.
Jadi, umpan balik tambahan sangat bermanfaat selama tahap pembelajaran
ini. Seperti di ungkapkan juga oleh Amezdros, dkk,
menyatakan bahwa “feedback is very
important in the early learning stage of any skill” [4].
Sebagai pemula, sangat dibutuhkan umpan balik eksternal atau dari luar.
Instruksi berupa umpan balik dapat membantu pelajar untuk melihat kesamaan
elemen antara tugas-tugas yang sebelumnya dipelajari dan tugas baru yang harus
dipelajari, dan demonstrasi atau model visual juga dapat memberikan informasi
kepada seorang pelajar tentang pola gerakan yang diinginkan.
Yang kedua, yaitu tahap asosoiatif. pada tahap ini,
pelajar mampu mendeteksi dan memperbaiki kesalahan kinerja/penampilan (performance). Pelajar berfokus pada
dinamika keterampilan dalam rangka untuk memperhalus dan memperbaiki gerakan.[5]
Pelajar juga menunjukkan konsistensi lebih dan efisiensi dalam
kinerja/penampilan karena untuk perbaikan keterampilan menjadi lebih halus.
Dalam fase ini, umpan balik dan instruksi harus lebih tepat dan fokus pada
aspek-aspek dari gerakan pelajar untuk
memperbaikinya.
Tahap yang ketiga yaitu tahap otonom, pada tahap ini
dapat dicapai setelah latihan ekstensif. Pada tahap ini, pelajar tidak harus
berkonsentrasi pada keterampilan dan mampu melakukan keterampilan tanpa
memperhatikan gerakan itu sendiri. Dalam tahap ini pelaku hanya membuat
kesalahan kecil namun sekarang mampu mendeteksi dan mengoreksi diri mereka dan
menghasilkan kinerja yang optimal. Peningkatan kinerja/penampilan agak sulit untuk dideteksi selama tahap ini,
dimana pelajar mencapai batas kemampuan nya. Ketika kinerja ditandai dengan
otomatisasi, hal itu memungkinkan peserta didik untuk memproses informasi dari
aspek-aspek lain dari tugas, seperti strategi, atau bentuk gaya (style) suatu gerakan. Yang perlu diperhatikan, pada tahap ini
dikatakan pembelajar menjadi tidak terdorong (discouraged) dan kehilangan motivasi (lose motivation).[6]
Oleh karena itu, praktisi dalam hal ini guru atau pelatih pada kapasitasnya
harus memberikan motivasi untuk mencapai potensi pembelajar.
[1] Coker, Cheryl A. Motor
Learning and Control for Practitioners (Mc Graw-Hill: Americas, New York,
2004), h. 100.
[2] Schmid, R. A, Motor
Control and Learning. A Bihavioral Emphasis (Champaighn, IL. Human
Kinetics, 1988), h. 460.
[4] Amezdros et all, Queensland senior, Physical education, 2nd
edition (Australia:
Macmilan Education Australia PTY LTD, 2004), h. 111.
No comments:
Post a Comment